Senin, 02 Juli 2012

Hubbul Wathon Minal Iman 


Dalam buku  “Intan tertabur” susunan Jalaluddin Syayuti Mesir,  terkutib sabda Rosululloh SAW tentang “Hubbul Wahon Minal Iman”. Lalu seorang tokoh mengomentari “maknanya shoheh dan ajaib”.
Terinspirasi oleh hadist tersebut kemudia kami merenungkan betapa memang betul Hubbul Wathon Minal Iman atau yang artinya “Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman” sungguh  menakjubkan keajaibannya di tanah air Indonesia.
Di  Indonesia ini ada sebuah danau maknawi maul hayat yang airnya kilau-kemilau sejuk, hidup menghidupkan dan di dalamnya mengandung permata maknawi  bagai zamrut, berlian yang tak ternilai harganya. Jika “diminum dan  untuk mandi” jiwa-jiwa bangsa ini maka saya yakin Indonesia akan menjadi bangsa yang “hidup segar dan sehat”. Danau  maul hayat itu bersumber dari seluruh tokoh terbaik Indonesia dengan berbagai agama dan aliran yang berjiwa “Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman”.
Wujud danau itu adalah pembukaan UUD 45. Sehelai   kertas  itu  mengandung makna seperti lautan tak bertepi, ada permata keimanan, permata Berkat, Rohmat, akhlaq, aqidah, dan cita-cita luhur yang nilainya lebih baik dari 350 tahun; “saat yang berbahagia dengan selamat sentausa”.
Tetapi sayang danau itu kini telah tertimbun oleh ”lumpur” sifat-sifat  yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.  Hal ini  sudah diamanatkan oleh pendiri negara bahwa itulah   hakekat penjajahan.  Karenanya kini danau itu  harus kita  bersihkan, sebab jika tidak, semuanya akan macet. “Maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai  dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan”.


Hubbul Wathon Minal Iman, Jalan mencapai Negara Adil Makmur

Kitab Alquran, kitab Weda, kitab Tripitaka, Bibel, dan seluruh undang-undang  di dunia ini  tidak memiliki tangan dan kaki. Artinya aturan itu tidak bisa berbuat sendiri, tidak bisa berjalan sendiri, dan manusialah yang harus menjalankannya. Jika tidak ada yang menjalankannya maka hilanglah manfaatnya.
Jika danau  maknawi itu ”diminum” melalui pendidikan dan masuk dalam jiwa bangsa, saya yakin Indonesia akan selamat. Karena disitu (danau maknawi-red) sistemnya persis sistem syukur, dan sistem syukur persis sudah diatur dalam UUD ’45.
Adapun syukur adalah jalan  mencapai “Baldatun thoyyibatun.” bersyukurlah kamu, negara akan menjadi negara thoyyibah.
Hakekat  syukur adalah mengamalkan tiga buah titik yang ada di dalam  huruf “syin”. Titik Pertama, ”lmun.” Artinya mengetahui sumber nikmat, mengetahui wujudnya nikmat, dan mengetahui untuk apa nikmat di berikan.
Titik Kedua, “Farhun”:  Artinya gembira karena mengetahui sumber nikmat yakni Alloh, gembira karena mengetahui wujud nikmat, dan gembira karena mengetahui tujuan nikmat itu di berikan.
Sedang titik ketiga adalah “Amalun”. Maksudnya mengelola nikmat menurut ridho Alloh Ta’ala.
Diantara nikmat besar yang telah diterima bangsa Indonesia adalah nikmat berdirinya Negara Kesatuan  Republik  Indonesia (NKRI). NKRI tidak akan ada jika tidak ada kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pun kemerdekaan tidak akan mungkin diperoleh jika tidak ada pertolongan Alloh – “Atas Berkat Rohmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur maka rakyat Indonesia  menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.
Sebab, apa mungkin keadaan  compang-camping saat itu mampu menghadapi raksasa  putih (penajajah Belanda-red) dan raksasa kuning (penjajah Jepang).  Mustahil menurut perhitungan akal, tapi kenyataannya kemerdekaan  terjadi. Oleh sebab itu pendahulu negeri ini menyadari tanpa pertolongan Alloh tak mungkin Indonesia bisa merdeka.
Peristiwa ajaib lain yang sangat menakjubkan dan bersumber dari jiwa Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air Bagian Dari Iman)  juga terjadi  di sebuah gedung no 106 gg Kenari jalan Kramat Raya tahun 1928  di bulan 10 pada tanggal 1928.  Peristiwa itu adalah Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Di  rumah no 106 (1 di tambah  6  = tujuh) ini menimbulkan 7 keajaiban. Keajaiban ini antara lain ajaibnya nama, ajaibnya penyaksian, ajaibnya para pelakunya, ajaib obyeknya, ajaib kebenaannya, ajaib latar belakangnya, dan ajaib latar  mukanya.
Tentang ”ajaibnya  penyaksian”. Saat waktu itu putra-putri Indonesia berikrar tentang ”satu nusa” yang disaksikan oleh tahun 19  (1+ 9 = 10).  Angka sepuluh  jika dijumlah sama dengan satu (1 + 0 = 1 ), berati ”satu nusa”. Kemudian ikrar ”satu bangsa”,  disaksikan oleh tahun 28 (2 + 8 = 10).  Jumlah sepuluh  sama dengan  ”satu bangsa”. Lalu ikrar ”satu bahasa”, disaksikan oleh bulan 10. Angka sepuluh disini berarti ”satu bahasa”.
Jadi  ikrar ”satu nusa, satu bangsa , dan satu bahasa ”pada tanggal 28 itu sebagai penyaksian satunya negara Republik Indonesia  yang ”disingkat” pada nama Gang tempat pelaksanaan acara yakni ”Kenari ; Kesatuan Negara Republik Indonesia”. Sedang jalan Kramat Raya Kramat berarti ”menuju kemulyaan yang besar”.
Padahal waktu itu para pemuda yang berikrar usianya sekitar 20-25 tahun, tapi mereka memiliki keberanian luar biasa. Keberanian lintas suku, berani lintas agama, dan berani mendobrak berhala imperialisme. Dan berselang 17 tahun kemudian kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai. Jadi  ada benang halus  antara Sumpah Pemuda dan Sumpah Palapa.

Peringatan yang keliru
Pada  tanggal 17 Agustus saya pergi ke Jakarta. Waktu saya ke masjid Istiqlal disitu tertulis “Dirgahayu Kemerdekaan RI”. Begitu pula saat ke  Taman Mini,  dari  Surabaya hingga Jakarta semua tertulis sama “Dirgahayu Kemerdekaan RI”. Lantas jika dipikir, apakah yang dijajah selama 350 tahun itu  Republik Indonseia ataukah bangsa Indonesia?
Didalam teks proklamasi  tertulis “Kami bangsa Indonesia” bukan ”Kami  Republik Indonesia. Juga tertulis ”Atas nama bangsa Indonesia” bukan ”atas nama Republik Indonesia”. Juga tertulis ”Sukarno  Hatta” bukan ”Presiden Sukarno”.
Demikian juga dalam pembukaan ”Bahwa  Kemerdekaan itu   hak segala bangsa” bukan ”hak   Republik Indonesia”. Tapi mengapa kemudian yang ditemui adalah tulisan ”Kemerdekaan RI”?.
Begitu pula seandainya pada tanggal 17 Agustus Negara Republik Indonesia sudah berdiri, berdiri di atas dasar apa?  Jika didirikan atas dasar Pancasila, nyatanya saat itu Pancasila belum menjadi dasar negara. Sebab saat itu sila ”Ketuhanan”  masih koma yakni ”Ketuhanan, dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pelemuknya. Jadi belum final.
Baru pada 18 Agustus menjelang sidang PPKI,  dr. Hatta, KH Wahid Hasyid, Kihadi Kusumo. Mr Hasan, Kasman Singodimedjo melakukan rapat kilat  mengenai 7 kalimat pada sila kesatu Pancasila. Agar dapat menjadi kalimat  titik temu, maka digantilah dengan tiga kalimat “Yang Maha Esa”. Ini baru final !
Apalagi kalimat ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” nantinya dapat berarti  yang mewajibkan, zakat,  puasa, haji adalah negara, bukan Alloh swt. Apa hal ini nggak syirik?
Alhamdulillah, dengan rohmat besar ini selamatlah negeri ini dari perpecahan. ”Ketuhanan Yang Maha Esa” itulah kalimat titik temu bagi seluruh agama  yang ada di Indonesia.
Kalimat titik  temu itu juga sudah diterangkan dalan Al qur’an, “Ya ahli kitabi ta’alau sawain baina  wabainahum” – “Wahai ahli kitab marilah kita pada satu kalimat yang sama titik temu”.
Alhamdulillah di Indonesia ini ada kalimat titik temu, sehingga ketuhanan itu menjadi dasar negara yang paling utama.Seperti juga tercantum  di bab 11 pasal 29 ayat no 1.” Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi di Indonesia ini bukan rakyatnya saja yang berketuhanan tapi negaranya berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Satu-satunya negara di dunia yang menggunakannya hanya Indonesa. Karena-nya kita harus bersyukur kepada Alloh, syukur kepada pendahulu kita.
Rosululloh  bersabda “Man Lam Yaskurinnas Lam Yaskurilah” – ”Barang siapa  tidak syukur kepada sesama manusia tidak  syukur kepada Allah”. Seandainya tiga kalimat diatas tidak diganti mungkin Indonesia akan terpecah. Walaupun  akhir-akhir ini nampak ada usaha untuk mengembalikan  ”Ketuhanan yang dikoma” lagi.  Jadi perlu dipikir  sungguh-sungguh tentang hal yang sudah final ini.
Yang  penting sekarang akar-akar identitas jati diri diperkuat. Sehingga meski terjadi globalisasi, asal akarnya kuat maka tidak akan terlibas. Sebaliknya kalau akar identitas Indonesia ini tidak diperkuat  maka beberapa puluh tahun lagi Indonesia tinggal nama, terlibas oleh globalisasi. Ini  yang kami kawatirkan !*
Diringkas dari : Sambutan Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah pada acara Pembukaan Seminar Cinta Tanah Air 1-2 Agustus 2007 di ISLAMIC CENTER Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar